OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI
DALAM KEWENANGAN DAERAH
Cita-cita
dan tujuan nasional memberikan arah bagi pelaksanaan pembangunan agar dapat
berjalan dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan sasarannya adalah dengan
melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Tujuan dari pelaksanaan
desentralisasi adalah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis, maka
diperlukan adanya kebijakan yang mampu merealisasikan cita-cita dan tujuan
tersebut. Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah dengan
melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi pada
dasarnya terdiri dari desentralisasi politik (political decentralization), desentralisasi
administrasi (administrative decentralization), desentralisasi fiskal (fiscal
decentralization), desentralisasi ekonomi (economic or market
decentralization) (Depkeu,2008:1).
Pelaksanaan
desentralisasi diwujudkan melalui pemberian bantuan dalam bentuk transfer dari
pemerintah pusat, ditambah dengan argumen untuk menjaga pertumbuhan dan
stabilitas ekonomi serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang menyebabkan lebih menguatnya sistem sentralisasi (Depkeu,2009:2).
Sistem
sentralisasi yang dijalankan oleh pemerintah pusat selama ini melahirkan krisis
ekonomi dan kepercayaan yang melanda dan memberikan dampak positif dan dampak
negatif bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia dan
memunculkan ketergantungan pemerintah daerah dalam hal penetapan kebijakan yang
diambil di daerah dikarenakan selalu menanti kebijakan yang diatur dari pusat
dan berlaku secara umum di daerah, termasuk di dalamnya adalah bantuan yang
diberikan oleh pemerintah pusat berupa subsidi dan transfer untuk pendanaan
pembangunan yang dilakukan di daerah. Untuk itu diperlukan pemberian kewenangan
kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dalam rangka
mewujudkan kemandirian daerah (Mardiasmo,2004:3).
Perubahan
dari pola pikir sentralisasi ke pola pikir desentralisasi, dalam arti
penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom, sangat dibutuhkan
saat ini. Kalau dulu untuk mengambil keputusan menunggu penunjuk dan pengarahan
dari pusat dalam bentuk usulan-usulan strategis, sejalan dengan itu memunculkan
undang-undang untuk mengelola administrasi pemerintah daerah serta pemberdayaan
keuangan daerah untuk lebih berguna bagi pembangunan daerah mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan terhadap pengumpulan dan
pendistribusiannya merupakan salah satu kebijakan, diperlukan adanya pemberian
keleluasan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan roda pemerintahan dan
bertanggungjawab akan pelaksanaan pembangunan di daerah sesuai peraturan yang
berlaku dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah melalui Undang-undang No
32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan pusat dan pemerintah daerah (Depkeu,2008:2).
Sumber-sumber
penerimaan daerah mengacu kepada undang-undang tentang perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah yang besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam hal
ini pemerintah daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan berupa
kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai urusan pemerintahan yang
diserahkan yakni kewenangan memungut sekaligus mendayagunakan pajak dan
retribusi daerah, hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumbersumber daya
nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya serta untuk
mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber- sumber pembiayaan dengan
prinsip dasarnya uang mengikuti fungsi (Money Follow Function) (Yuwono,2008:46).
Sumber
penerimaan daerah seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) diwujudkan di daerah
dengan kewenangan memungut pajak dan retribusi daerah yang diatur dalam UU
Nomor 34 Tahun 2000 dengan peraturan pelaksanaannya berupa PP Nomor 65 Tahun
2001 tentang pajak daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah.
Berdasarkan Undang-undang tersebut daerah diberi kewenangan untuk memungut 11
jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Ditinjau dari kontribusi pajak daerah dan
retribusi daerah sampai saat ini terjadi ketimpangan yang relatif besar
terhadap distribusi kewenangan perpajakan antara pusat dan daerah yang
tercermin dari jumlah penerimaan pajak yang tidak berdampak besar bagi
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena pembiayaan kebutuhan di
sebagian besar daerah pada kenyataannya hanya memiliki PAD kurang dari 10 % dan
hal ini sangat bervariasi disetiap daerah yakni antara 10 % -50 % karena
kewenangan perpajakan (taxing power) daerah sangat terbatas dan akhirnya
akan bermuara pada rendahnya kemampuan keuangan daerah (Yuwono,2008:47).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar